Serangkaian kebijakan yang diambil oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, terutama yang terkait dengan tarif perdagangan, diperkirakan akan berdampak pada perekonomian negara-negara di Asia. Tarif perdagangan tidak langsung diterapkan oleh Donald Trump setelah pelantikannya sebagai Presiden AS. Namun, tak lama setelahnya, Trump merencanakan tarif untuk Kanada dan Meksiko, yang kemudian diikuti oleh China dan Uni Eropa.
Menurut laporan Reuters, Kamis (23/1/2025), dikatakan bahwa pemerintahannya sedang mendiskusikan penerapan tarif 10% pada barang-barang impor dari China yang berlaku mulai 1 Februari 2025, di hari yang sama ketika tarif sebesar 25% untuk Meksiko dan Kanada sebelumnya juga disebutkan. Meskipun tarif yang dijanjikan Trump pada masa kampanyenya belum sepenuhnya diterapkan, kebijakan terkait tarif perdagangan globalnya masih menimbulkan ketidakpastian yang berkepanjangan.
Kekhawatiran terbesar bagi Asia, menurut Head of Asia Pacific Economic & Market Analysis Citi Research, Johanna Chua, adalah ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan perdagangan. Namun, risiko ini dipandang tidak sebesar ketika Trump masih berkampanye. “Ketika Trump berkampanye, sikap agresif terhadap China sangat terlihat. Namun, setelah memenangkan pemilihan, kesadaran akan sebagian besar alasan kemenangannya muncul, termasuk biaya hidup, inflasi, dan masalah perbatasan serta imigrasi,” ungkap Johanna dilansir dari Bisnis, Rabu (22/1/2025).
Johanna memprediksi bahwa saat ini Trump tidak akan menerapkan tarif menyeluruh terhadap semua negara, bahkan tarif 60% yang disebutkan saat kampanye tidak akan diberlakukan. Kebijakan yang diambil Trump pada masa kepemimpinan periode kedua diperkirakan tidak akan seagresif periode pertama, memberikan sedikit ruang bagi pasar, terutama di Asia.
Meskipun kebijakan tarif perdagangan AS tidak seagresif seperti yang dikampanyekan, Johanna mengungkapkan bahwa kebijakan tarif tersebut akan tetap bersifat asimetris, yang berarti China akan tetap mengalami kenaikan tarif yang lebih besar dibandingkan negara-negara lain. Oleh karena itu, China diperkirakan akan lebih banyak melakukan diversifikasi rantai pasokan dengan strategi China Plus One, yang membuka peluang bagi sejumlah negara-negara di ASEAN untuk mendapatkan keuntungan. “Diversifikasi ke Vietnam dan Malaysia diperkirakan akan menguntungkan dari strategi China Plus One ini,” tambahnya.
Dampak Ke Indonesia
Terkait dengan Indonesia, Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) memandang bahwa langkah Trump yang menunda pengenaan tarif bea masuk terhadap produk China membuka peluang bagi perdagangan Indonesia. Ketua Umum GPEI, Benny Soetrisno, menyatakan bahwa penundaan tersebut merupakan sinyal positif bagi Indonesia. “Penundaan tarif bea masuk produk China ke AS sebenarnya memberikan lampu hijau bagi kita,” ujar Benny dilansir dari Bisnis, Rabu (22/1/2025).
Ia menjelaskan bahwa jika AS tidak mengenakan tarif bea masuk lebih tinggi kepada China, ini berarti mesin industri di AS berjalan dan membutuhkan energi. Hal ini diperkirakan akan meningkatkan ekspor batu bara Indonesia. “Jika China tidak dikenakan kenaikan tarif bea masuk, maka industri AS membutuhkan energi, yang pasti akan meningkatkan ekspor batu bara kita,” jelasnya.
Benny juga menambahkan bahwa jika tarif bea masuk produk China ditunda oleh Trump, ekspor Indonesia ke China akan mengalami pertumbuhan, dengan komoditas seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan batu bara sebagai penyumbang ekspor utama. Sebaliknya, jika tarif bea masuk produk China dikenakan, Indonesia berpotensi memasuki pasar AS, dengan ekspor manufaktur, elektronik, pakaian jadi, dan furnitur dari Indonesia yang dapat memenuhi kebutuhan pasar AS.
Sumber Gambar: Antara
Referensi: Bisnis.com